Tuesday, August 3, 2010

Legalitas Jabatan Negara dan Tertib Hukum di Negara Hukum

Dalam Pasal 1 (3) UUD disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Penegasan bentuk negara hukum (rechtsstaat) ini adalah sebagai negasi atas bentuk negara kekuasaan (machtstaat) yang meletakan rule of man sebagai panglima dalam sebuah rezim. Negara h ukum itu sendiri meniscayakan adanya rule of law atau aturan main yang disepakati bersama oleh para stakeholder berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepastian dan persamaan. Rule of law ini nantinya menjadi dasar legitimasi hukum benar atau tidaknya pengelolaan negara. Berbeda dengan rule of man yang bersifat subjektif, tidak pasti dan cenderung otoriter, karena bergantung sepenuhnya kepada siapa yang berkuasa. Pada tataran ini hukum hanya menjadi alat justifikasi atau pembenaran sikap tindak kekuasaan. Ide negara hukum dilandasi oleh ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Di Amerika A. V. Dicey mengemukakannya dengan jargon "the rule of law, and not a man".

Sebagian dari ciri negara hukum tersebut, antara lain adanya prinsip supremasi hukum (supremacy of law), persamaan di muka hukum (equality before the law), peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary), perlindungan terhadap hak asasi manusia, serta adanya asas legalitas (due process of law). Prinsip yang terkahir ini adalah basis atau pondasi bagi konstruksi keabsahan segala perbuatan hukum yang dilakukan serta akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Dalam hukum admnistrasi negara, penerapan prinisip ini meniscayakan adanya tertib hukum dalam bentuk formalisasi kebijakan-kebijakan yang tidak saling bertentangan.

Dalam negara hukum, karena daya laku atau sifat keberlakuan sebuah aturan berbeda, dibedakan adanya aturan dalam bentuk regelling (pengaturan) dan aturan dalm bentuk beschikking (penetapan). Yang pertama mempunyai indikasi dengan sifatnya yang abstrak, berlaku untuk umum, dan terus menerus menjadi pedoman sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Adapun yang kedua, beschikking, mempunyai indikasi dengan sifatnya yang individual, kongkrit, dan final (Pasal 1 butir 3 UU 5/1986) dalam artian berlaku khusus bagi subyek hukum yang ditunjuk, untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, dan sekali pakai atau jadi (enmalig) dibatasi dengan waktu. Oleh karenanya beschikking akan tidak berlaku dengan sendirinya ketika sampai pada batasan yang ditetapkan, baik untuk batasan yang secara tertulis dituangkan dalam besichking itu sendiri maupun karena adanya batasan yang ditetapkan dalam peraturan-perundang-undangan yang menjadi payungnya.

Apabila bentuk beschikking dikaitkan dengan penetapan seseorang menjadi pejabat negara, hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kebutuhan untuk pelaksanaan wewenang yang ada dalam jabatan negara tersebut. Dengan kata lain beschikking ini merupakan dasar hukum bagi si pejabat untuk melaksanakan wewenangnya baik yang bersifat atributif maupun delegatif dalam administrasi negara. Dengan kata lain ada akibat hukum baik pada dirinya maupun bagi orang lain yang terkena implementasi wewenangnya. Jabatan negara itu sendiri dapat diperoleh baik melalui jalur karir kepegawaian yang bersangkutan (jalur pengabdian) maupun melalui jalur non karir, yang semata-mata karena adanya hubungan kepentingan politik rezim yang berkuasa.

Dalam hukum administrasi kepegawaian negara, dalam kondisi yang normal, masa pengabdian seorang pegawai dibatasi dengan usia pensiun yang bersangkutan (Batas Usia Pensiun). Oleh karenanya secara hukum ia tidak lagi berkewajiban mengabdi secara formil untuk dan atas nama negara ketika sampai pada usia pensiun yang bersangkutan, meskipun secara de facto masih dibutuhkan. Pengabaian terhadap realitas pengaturan ini akan menjadi preseden buruk tertib administrasi negara secara luas.

Dalam polemik kasus legalitas Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung, selayaknya semua pihak melihat terlebih dahulu kepada fakta hukum beschikking tentang penetapan yang bersangkutan sebagai Jaksa Agung. Berdasarkan Keppres No. 31/P/2007, disebutkan Herdarman Supanji diangkat sebagai Jaksa Agung dengan kedudukan setingkat Menteri Negara dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu. Kepres dimaksud secara hukum dinyatakan tidak berlaku dengan Keppres No. 83/P/2009 tentang Pembubabaran Kabinet Indonesia Bersatu yang memberhentikan semua menteri kabinet terhitung sejak tanggal 20 Oktober 2009, sehubungan dengan berakhirnya masa jabatan presiden dan masa bakti kabinet yang bersangkutan. Yang menjadi persoalan adalah dalam Keppres yang terkahir tidak disebutkan secara tegas pemberhentian Hendarman sebagai Jaksa Agung, dengan alasan jabatan Jaksa Agung bukan lagi dalam kedudukan setingkat Menteri sebagaimana diatur dalam UU Kementerian Negara (UU 39/2008).

Jabatan Jaksa Agung itu sendiri berdasarkan Undang-undang Kejaksaan (UU 16/2004) adalah jabatan karir bagi Hendarman, yang terikat dengan ketentuan batas usia pensiun yang bersangkutan, yakni 62 tahun. Pada saat ini usia Hendarman Supanji 63 tahun, telah melewati batas usia pensiun untuk tetap memangku jabatan tersebut. Pada dasarnya, untuk jabatan tertentu seperti Jaksa Agung, apabila masih dibutuhkan, Presiden dapat menetapkan perpanjangan batas usia pensiun sampai dengan 65 tahun (Ps. 23 UU 8/74 jo.Ps. 4 PP. 32/79). Kebijakan perpanjangan ini tentu saja harus dirumuskan terlebih dahulu secara formil dalam beschikking yakni Keputusan Presiden sebagai dasar hukum dan tertib administrasi kepegawaian yang bersangkutan. Prosedur tetap kepegawaian ini harus diterapkan sekurang-kurangnya 1 tahun sebelum batas usia pensiun yang bersangkutan sampai (Ps. 5 PP. 32/79).

Apabila kebijakan di atas tidak dilakukan, demi hukum yang bersangkutan tidak berkewajiban lagi melaksanakan tugas pokok dan fungsi serta wewenang jabatan Jaksa Agung. Pengaturan jabatan karir Jaksa Agung ini jelas berbeda dengan jabatan politis menteri yang tidak mengenal batas usia pensiun sepanjang ada kepercayaan rezim yang berkuasa. Meskipun demikian, ada persamaan yang bersifat umum bagi keduanya baik jabatan karir maupun politik, yakni terikat dengan batas waktu keberlakuan beschikking masing-masing. Atas dasar kesamaan ini status Hendarman sebagai Jaksa Agung patut diyatakan berhenti dengan Keppres No. 83/P/2009. Pendapat ini tentu saja tidak diamini oleh Pemerintah, mengingat akan berimplikasi terhadap keabsahan segala kebijakan yang telah ditempuh oleh Jaksa Agung.

Dalam perspektif hukum administrasi negara, beschikking penetapan seseorang menjadi pejabat negara tidak berlaku asas fiktif negatif. Dalam artian bahwa seseorang tidak dapat mengklaim dirinya tetap memegang jabatan negara ketika masa baktinya berakhir dengan alasan belum ada beschikking baru yang memberhentikannya.

Dalam negara hukum yang mengedepankan rule of law, perspektif hukum administrasi negara dikedepankan dengan tujuan selain untuk memberikan pedoman bagaimana sebuah negara dijalankan (negara dalam keadaan bergerak), dan untuk memberikan jaminan keabsahan pelaksanaan hak dan kewajiban serta wewenang yang diamanatkan peraturan perundang-undangan, juga untuk menciptakan tertib hukum penyelenggaraan negara. Keabsahan seseorang memegang jabatan negara bukan semata-mata karena secara de facto ia memegang jabatan tersebut, tetapi juga harus dilengkapi dengan bukti formil bahwa ia mempunyai beschikking yang sah atas penetapannya dalam jabatan negara tersebut.
Read More..

Tuesday, October 6, 2009

Titik Nadir Pemberantasan Korupsi

Salah satu amanat reformasi yang telah digulirkan lebih dari satu dasawarsa di Negara ini adalah pemberantasan korupsi yang oleh sebagian pakar di bidang antropologi korupsi dianggap telah menjadi budaya bangsa Indonesia. Korupsi sudah dianggap sebuah kewajaran, bahkan secara sarkastik tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa korupsi adalah sebuah keharusan jika ingin bertahan hidup di Indonesia. Korupsi telah terjadi secara massif di Negeri ini yang mengakibatkan banyak hak-hak sosial ekonomi masayarakat terabaikan. Atas dasar realitas inilah dibuat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan terakhir UU Nomor 30 tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan perundang undangan ini dapat dikatakan sebagai sarana perwujudan cita-cita gerakan reformasi dalam pemberantasan korupsi.

Ada tiga alasan yang termaktub dalam konsideran sosio-filosofis UU Nomor 30 tahun 2003, pertama, bahwa UU tersebut dibentuk untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Kedua, pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang berwenang belum berfungsi secara efektif dan efisien sehingga pemberantasan korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Ketiga, perlunya peningkatan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Sebelumnya dalam salah satu konsideran UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (Extraordinary crime) yang harus ditanggulangi dengan cara-cara yang tidak biasa (extraordinary action). Bahkan menurut Robert Kiltgard (2001) pendekatan normatif saja tidak akan cukup untuk melakukan pemberantasan korupsi. Harus ada terobosan kebijakan progresif dalam segala bidang yang secara normatif mungkin dianggap aneh.

Atas dasar pertimbangan di atas dibentuklah lembaga superbody yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan dapat bertindak secara luar biasa karena yang ditangani adalah tindak kejahatan yang tidak biasa. Salah satu alasan KPK disebut sebagai lembaga superbody karena lembaga ini mempunyai kewenangan untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Besarnya kewenangan yang ada pada KPK menyebabkan tumbuhnya ekspektasi masyarakat terhadap KPK. Realitas kejahatan korupsi yang massif dapat dianggap mejadi alasan pemaaf terkait dengan kesan sepak terjang KPK yang melaksanakan tugasnya secara tebang pilih. Dalam salah satu kaidah fiqhiyyah disebutkan “sesuatu yang tidak dapat diambil semua, jangan diambil semua”. Dengan kata lain kerjakan apa yang dapat dikerjakan. Pilihan-pilihan KPK sejauh ini tidak salah, upaya yang telah dilakukan sejak dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, kemudian pemeriksaan dan pembuktian di persidangan membuahkan hasil seratus persen, pelakunya dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Kinerja KPK ini diapresiasi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan secara internasional eksistensi KPK mulai diperhitungkan terbukti dengan keinginan KPK Pemerintah Thailand yang akan merumuskan peraturan yang sama dengan yang ada di Indonesia (Pikiran Rakyat/30/9/2009).

Keberhasilan KPK tidak terlepas dari kedudukan Lembaga ini yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pimpinan KPK adalah penangungjawab tertinggi dalam hierarki manajemen lembaga. Sifat independen dan kemandirian Lembaga ini bermuara kepada keharusan memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang, tugas pokok dan fungsi kepada publik (Pasal 3 Jo. Pasal 21 jo. Pasal 20). Sangat jelas KPK bukan subordinasi anasir pemegang kekuasaan baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Upaya pelemahan

Terlepas dari ada tidaknya penilaian negatif terhadap sepak terjang KPK dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi, Pemerintah pernah melakukan upaya hukum judicial review UU 30 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam petitumnya memohon supaya Pasal 53 UU KPK dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 dengan alasan (rechtfaiten) adanya diskriminasi hukum bagi warga negara, di samping itu juga bertentangan dengan Pasal Pasal 24 A ayat (5) UUD’45, sehingga menimbulkan standar ganda atau dualisme peradilan korupsi antara peradilan umum yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tipikor. Pasal 24 A itu sendiri menyatakan bahwa susunan, kedudukan dan hukum acara Mahkamah Agung, dan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. Tujuan judicial review ini sangat jelas bahwa Pemerintah menghendaki peradilan korupsi hanya berada di bawah kendali Pengadilan Negeri.

MK mengabulkan permohonan Pemerintah tetapi tidak sepakat dengan Rechtfaiten yang menjadi dasar judicial review, MK tidak menyatakan eksistensi Pengadilan Tipikor bertentangan dengan konstitusi. MK lebih jauh dalam putusannya Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 menyatakan agar dasar hukum Pengadilan Tipikor diperkuat dengan membuat UU baru. MK juga membatasi waktu paling lama tiga tahun untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru terhitung sejak tanggal 19 Desember 2006.

Setelah memakan waktu yang relatif lama (hampir tiga tahun) RUU Pengadilan TIPIKOR akhirnya disahkan menjadi UU dalam rapat Paripurna DPR pada tanggal 29 September 2009. Sebagian materi UU tersebut merupakan hasil kompromi eksekutif dan legislatif atas isu-isu krusial yang akan melemahkan KPK seperti pencabutan kewenangan penyadapan dan penuntutan. Dalam UU baru kewenangan itu tetap dipertahankan. Namun dalam beberapa pasal terdapat ketentuan baru yang memberikan kesan pelemahan upaya pemberantasan korupsi, seperti pengaturan komposisi hakim yang diserahkan kepada Ketua PN atau Ketua MA dalam Pasal 26. Hal ini dikhawatirkan berimplikasi terdapatnya putusan yang berbeda-beda di tiap daerah. Misalnya, daerah yang satu hakim ad hoc lebih banyak dan daerah yang lain hakim adhoc lebih sedikit, maka sangat mungkin dari kedua daerah tersebut akan melahirkan putusan yang berbeda terhadap korupsi. Lebih jauh hal ini dikhawatirkan akan berdampak kepada tidak adanya kepastian hukum. Pada saat ini komposisi majelis hakim Pengadilan TIPIKOR hakim ad hoc lebih banyak dibandingkan hakim karir dengan tiga berbanding dua (Pasal 58 (2) UU 30/2002).

Hal lainnya adalah kuantitas Pengadilan Tipikor yang harus ada di setiap Provinsi sehingga berjumlah 33. Salah satu kesulitan yang bakal dihadapi jika Pengadilan Tipikor banyak adalah menjaga kualitas dan integritas yang sama dari semua Pengadilan Tipikor, serta tingkat efektivitas dan efisiensi lembaga peradilan. Realitas ini tentu saja tidak senafas dengan konsideran sosio filosofis UU 30/2002 yang mengamanatkan pemberantasan tidak pidana korupsi harus dilakukan dengan efektif dan efisien baik yang berkaitan dengan aspek kelembagaan maupun aspek kewenangan, tugas pokok dan fungsinya.

Kesan upaya pelemahan yang dilakukan oleh Pemerintah bahkan sampai kepada tingkatan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum yaitu kriminalisasi pelaksanaan kewenangan anggota Pimpinan KPK dengan menetapkannya sebagai tersangka yang berakibat harus diberhentikan sementara dari kegiatannya sebagai Pimpinan KPK. Imbasnya adalah terjadinya kekosongan pimpinan KPK yang “dikhawatirkan (baca: dikondisikan)” dapat mengganggu mekanisme kerja kolegial yang diamanatkan oleh Pasal 33 jo. 21 Ayat (5) UU 30/2002. Atas pertimbangan ini akhirnya Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 sebagai dasar pengangkatan anggota pimpinan KPK sementara. Salah satu konsideran yuridis penerbitan Perppu ini adalah adanya kegentingan yang memaksa sesuai dengan kewenangan pembentukan Peraturan Perudang-undangan berdasarkan Pasal 22 UUD’45. Perppu ini sendiri adalah hak prerogatif presiden. Kedudukan Perppu sama dengan UU. Kondisi ‘kegentingan memaksa’ dalam Penjelasan pasal 22 UUD 1945 pra amademen adalah sebagai noodverordeningsrechts yang sepenuhnya sangat bergantung kepada subyektifitas presiden.

Yang menjadi persoalan adalah substansi Perppu 4/2009 telah mengdegradasi rule of law logika negara hukum (rechtstaat) menjadi negara kekuasaan (maachtstaat). KPK yang dibentuk dengan UU sebagai lembaga independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan apapun kini telah tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif, bahkan lebih jauh kedudukan dan wewenang anggota pimpinan KPK sementara yang diangkat oleh Presiden dalam kondisi abnormal sama dengan anggota pimpinan KPK tetap yang dipilih dalam kondisi normal.

Jauh sebelum Perppu di atas dikeluarkan banyak alternatif kebijakan lain yang dapat ditempuh Presiden yang digagas oleh oleh para Ahli Hukum, tokoh masyarakat dan LSM seperti dilakukan eksaminasi atas tindakan yang dilakukan Polri sehubungan penetapan tersangka anggota pimpinan KPK apakah sesuai dengan norma hukum yang berlaku, percepatan proses hukum yang melibatkan anggota Pimpinan KPK untuk menjamin adanya kepastian hukum status pimpinan KPK, atau membiarkan Anggota Pimpinan aktif yang tersisa melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi seperti biasa. Gagasan-gagasan tersebut dibangun berdasarkan belum adanya keadaan kegentingan memaksa yang dapat dijadikan alasan penerbitan Perppu.

Harapan terakhir untuk mengakhiri Perppu yang kontroversial ini secara yuridis terletak pada DPR untuk melakukan political review tentunya dengan memilih menolak Perppu ini menjadi Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD’45 jo. Pasal 25 (3) UU 10/2004.

Wallahu a’lam bishawab.
Dimuat pada Harian Umum Pelita, Opini, Edisi Sabtu, 10 Oktober 2009.
http://www.hupelita.com/baca.php?id=80629
Read More..