Tuesday, October 6, 2009

Titik Nadir Pemberantasan Korupsi

Salah satu amanat reformasi yang telah digulirkan lebih dari satu dasawarsa di Negara ini adalah pemberantasan korupsi yang oleh sebagian pakar di bidang antropologi korupsi dianggap telah menjadi budaya bangsa Indonesia. Korupsi sudah dianggap sebuah kewajaran, bahkan secara sarkastik tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa korupsi adalah sebuah keharusan jika ingin bertahan hidup di Indonesia. Korupsi telah terjadi secara massif di Negeri ini yang mengakibatkan banyak hak-hak sosial ekonomi masayarakat terabaikan. Atas dasar realitas inilah dibuat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan terakhir UU Nomor 30 tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan perundang undangan ini dapat dikatakan sebagai sarana perwujudan cita-cita gerakan reformasi dalam pemberantasan korupsi.

Ada tiga alasan yang termaktub dalam konsideran sosio-filosofis UU Nomor 30 tahun 2003, pertama, bahwa UU tersebut dibentuk untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Kedua, pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang berwenang belum berfungsi secara efektif dan efisien sehingga pemberantasan korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Ketiga, perlunya peningkatan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Sebelumnya dalam salah satu konsideran UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (Extraordinary crime) yang harus ditanggulangi dengan cara-cara yang tidak biasa (extraordinary action). Bahkan menurut Robert Kiltgard (2001) pendekatan normatif saja tidak akan cukup untuk melakukan pemberantasan korupsi. Harus ada terobosan kebijakan progresif dalam segala bidang yang secara normatif mungkin dianggap aneh.

Atas dasar pertimbangan di atas dibentuklah lembaga superbody yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan dapat bertindak secara luar biasa karena yang ditangani adalah tindak kejahatan yang tidak biasa. Salah satu alasan KPK disebut sebagai lembaga superbody karena lembaga ini mempunyai kewenangan untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Besarnya kewenangan yang ada pada KPK menyebabkan tumbuhnya ekspektasi masyarakat terhadap KPK. Realitas kejahatan korupsi yang massif dapat dianggap mejadi alasan pemaaf terkait dengan kesan sepak terjang KPK yang melaksanakan tugasnya secara tebang pilih. Dalam salah satu kaidah fiqhiyyah disebutkan “sesuatu yang tidak dapat diambil semua, jangan diambil semua”. Dengan kata lain kerjakan apa yang dapat dikerjakan. Pilihan-pilihan KPK sejauh ini tidak salah, upaya yang telah dilakukan sejak dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, kemudian pemeriksaan dan pembuktian di persidangan membuahkan hasil seratus persen, pelakunya dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Kinerja KPK ini diapresiasi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan secara internasional eksistensi KPK mulai diperhitungkan terbukti dengan keinginan KPK Pemerintah Thailand yang akan merumuskan peraturan yang sama dengan yang ada di Indonesia (Pikiran Rakyat/30/9/2009).

Keberhasilan KPK tidak terlepas dari kedudukan Lembaga ini yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pimpinan KPK adalah penangungjawab tertinggi dalam hierarki manajemen lembaga. Sifat independen dan kemandirian Lembaga ini bermuara kepada keharusan memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang, tugas pokok dan fungsi kepada publik (Pasal 3 Jo. Pasal 21 jo. Pasal 20). Sangat jelas KPK bukan subordinasi anasir pemegang kekuasaan baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Upaya pelemahan

Terlepas dari ada tidaknya penilaian negatif terhadap sepak terjang KPK dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi, Pemerintah pernah melakukan upaya hukum judicial review UU 30 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam petitumnya memohon supaya Pasal 53 UU KPK dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 dengan alasan (rechtfaiten) adanya diskriminasi hukum bagi warga negara, di samping itu juga bertentangan dengan Pasal Pasal 24 A ayat (5) UUD’45, sehingga menimbulkan standar ganda atau dualisme peradilan korupsi antara peradilan umum yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tipikor. Pasal 24 A itu sendiri menyatakan bahwa susunan, kedudukan dan hukum acara Mahkamah Agung, dan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. Tujuan judicial review ini sangat jelas bahwa Pemerintah menghendaki peradilan korupsi hanya berada di bawah kendali Pengadilan Negeri.

MK mengabulkan permohonan Pemerintah tetapi tidak sepakat dengan Rechtfaiten yang menjadi dasar judicial review, MK tidak menyatakan eksistensi Pengadilan Tipikor bertentangan dengan konstitusi. MK lebih jauh dalam putusannya Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 menyatakan agar dasar hukum Pengadilan Tipikor diperkuat dengan membuat UU baru. MK juga membatasi waktu paling lama tiga tahun untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru terhitung sejak tanggal 19 Desember 2006.

Setelah memakan waktu yang relatif lama (hampir tiga tahun) RUU Pengadilan TIPIKOR akhirnya disahkan menjadi UU dalam rapat Paripurna DPR pada tanggal 29 September 2009. Sebagian materi UU tersebut merupakan hasil kompromi eksekutif dan legislatif atas isu-isu krusial yang akan melemahkan KPK seperti pencabutan kewenangan penyadapan dan penuntutan. Dalam UU baru kewenangan itu tetap dipertahankan. Namun dalam beberapa pasal terdapat ketentuan baru yang memberikan kesan pelemahan upaya pemberantasan korupsi, seperti pengaturan komposisi hakim yang diserahkan kepada Ketua PN atau Ketua MA dalam Pasal 26. Hal ini dikhawatirkan berimplikasi terdapatnya putusan yang berbeda-beda di tiap daerah. Misalnya, daerah yang satu hakim ad hoc lebih banyak dan daerah yang lain hakim adhoc lebih sedikit, maka sangat mungkin dari kedua daerah tersebut akan melahirkan putusan yang berbeda terhadap korupsi. Lebih jauh hal ini dikhawatirkan akan berdampak kepada tidak adanya kepastian hukum. Pada saat ini komposisi majelis hakim Pengadilan TIPIKOR hakim ad hoc lebih banyak dibandingkan hakim karir dengan tiga berbanding dua (Pasal 58 (2) UU 30/2002).

Hal lainnya adalah kuantitas Pengadilan Tipikor yang harus ada di setiap Provinsi sehingga berjumlah 33. Salah satu kesulitan yang bakal dihadapi jika Pengadilan Tipikor banyak adalah menjaga kualitas dan integritas yang sama dari semua Pengadilan Tipikor, serta tingkat efektivitas dan efisiensi lembaga peradilan. Realitas ini tentu saja tidak senafas dengan konsideran sosio filosofis UU 30/2002 yang mengamanatkan pemberantasan tidak pidana korupsi harus dilakukan dengan efektif dan efisien baik yang berkaitan dengan aspek kelembagaan maupun aspek kewenangan, tugas pokok dan fungsinya.

Kesan upaya pelemahan yang dilakukan oleh Pemerintah bahkan sampai kepada tingkatan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum yaitu kriminalisasi pelaksanaan kewenangan anggota Pimpinan KPK dengan menetapkannya sebagai tersangka yang berakibat harus diberhentikan sementara dari kegiatannya sebagai Pimpinan KPK. Imbasnya adalah terjadinya kekosongan pimpinan KPK yang “dikhawatirkan (baca: dikondisikan)” dapat mengganggu mekanisme kerja kolegial yang diamanatkan oleh Pasal 33 jo. 21 Ayat (5) UU 30/2002. Atas pertimbangan ini akhirnya Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 sebagai dasar pengangkatan anggota pimpinan KPK sementara. Salah satu konsideran yuridis penerbitan Perppu ini adalah adanya kegentingan yang memaksa sesuai dengan kewenangan pembentukan Peraturan Perudang-undangan berdasarkan Pasal 22 UUD’45. Perppu ini sendiri adalah hak prerogatif presiden. Kedudukan Perppu sama dengan UU. Kondisi ‘kegentingan memaksa’ dalam Penjelasan pasal 22 UUD 1945 pra amademen adalah sebagai noodverordeningsrechts yang sepenuhnya sangat bergantung kepada subyektifitas presiden.

Yang menjadi persoalan adalah substansi Perppu 4/2009 telah mengdegradasi rule of law logika negara hukum (rechtstaat) menjadi negara kekuasaan (maachtstaat). KPK yang dibentuk dengan UU sebagai lembaga independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan apapun kini telah tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif, bahkan lebih jauh kedudukan dan wewenang anggota pimpinan KPK sementara yang diangkat oleh Presiden dalam kondisi abnormal sama dengan anggota pimpinan KPK tetap yang dipilih dalam kondisi normal.

Jauh sebelum Perppu di atas dikeluarkan banyak alternatif kebijakan lain yang dapat ditempuh Presiden yang digagas oleh oleh para Ahli Hukum, tokoh masyarakat dan LSM seperti dilakukan eksaminasi atas tindakan yang dilakukan Polri sehubungan penetapan tersangka anggota pimpinan KPK apakah sesuai dengan norma hukum yang berlaku, percepatan proses hukum yang melibatkan anggota Pimpinan KPK untuk menjamin adanya kepastian hukum status pimpinan KPK, atau membiarkan Anggota Pimpinan aktif yang tersisa melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi seperti biasa. Gagasan-gagasan tersebut dibangun berdasarkan belum adanya keadaan kegentingan memaksa yang dapat dijadikan alasan penerbitan Perppu.

Harapan terakhir untuk mengakhiri Perppu yang kontroversial ini secara yuridis terletak pada DPR untuk melakukan political review tentunya dengan memilih menolak Perppu ini menjadi Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD’45 jo. Pasal 25 (3) UU 10/2004.

Wallahu a’lam bishawab.
Dimuat pada Harian Umum Pelita, Opini, Edisi Sabtu, 10 Oktober 2009.
http://www.hupelita.com/baca.php?id=80629

0 comments:

Post a Comment